Senin, 03 Oktober 2011


Legenda Danau Poso



Alkisah di masa lampau hiduplah seorang laki laki bersama istrinya tercinta di sebuah desa. Mereka hidup rukun dan bahagia. Laki laki itu bernama Ue Bailolo. Sehari hari Ue Bailolo bekerja sebagai petani. Hasil pertanian mereka cukup untuk memberikan penghidupan yang sederhana.

Ue Bailolo dan istrinya tergolong tidak muda lagi. Sekian tahun pernikahan yang dilalui bersama istrinya belum juga memberikan buah hati untuk Ue Bailolo. Meski demikian Ue Bailolo dan istrinya tidak putus asa. Mereka terus saja memohon kepada Yang Kuasa agar dikaruniai seorang anak. Keinginan itu makin menjadi manakala mereka memikirkan siapa gerangan yang akan membantu mereka bertani jika usia mereka semakin tua nanti.

Pada suatu malam Ue Bailolo bermimpi. Dalam mimpinya Ue Bailolo yang sedang berdiri di depan rumahnya didatangi seorang lelaki muda berparas tampan yang mengendarai seekor kerbau liar berwarna putih. Lelaki itu menghentikan kerbaunya dan turun di depan Ue Bailolo. Ia segera memperkenalkan diri. “Nama saya Manurung”, ujarnya sambil tersenyum. Apa maksudmu berkunjung kemari ?” tanya Ue Bailolo. “Aku tidak bermaksud buruk padamu”, jawab Manurung dengan suara ramah. “Aku hanya datang untuk memperkenalkan diri. Suatu hari nanti aku akan kembali kesini”, tambahnya sambil naik ke punggung kerbau. Tak lama kemudian Manurung dan kerbaunya pergi meninggalkan Ue Bailolo.

Keesokan harinya ketika bangun pagi, Ue Bailolo masih teringat akan mimpinya yang aneh. Ia tidak menceritakan perihal mimpinya itu pada istrinya. Ia menyimpannya seorang diri.

Pagi itu Ue Bailolo pergi hutan untuk mencari bambu. Ia berkeinginan membuat tempat duduk untuk bersantai di beranda depan rumahnya. Ketika Ue Bailolo tengah memotong sebatang pohon bambu yang berukuran cukup besar di pinggir hutan, ia mendengar sebuah suara yang berasal dari semak semak.  “Tolong jangan potong terlalu rendah Pak, kau bisa melukai lenganku”, terdengar sebuah suara perempuan muda bernada khawatir.

Ue Bailolo terkejut mendengar suara itu. Ia berhenti memotong dan menunggu pemilik suara menampakkan diri. Setelah menunggu beberapa saat, tak seorangpun muncul. Ue Bailolo mulai ketakutan. Dengan badan gemetar menahan rasa takut, Ue Bailolo segera berlari pulang. Sesampai di rumah, Ue Bailolo menceritakan apa yang baru dialaminya kepada istrinya.

Istri Ue Bailolo menganjurkan suaminya agar menyajikan sesajen di semak semak tempat terdengarnya suara tadi. Ue Bailolo setuju. Segera ia menyiapkan seekor ayam putih dan berbagai jenis kembang untuk sesajen. Mereka percaya sesajen itu akan menghindarkan mereka dari bala yang sekiranya akan menimpa mereka.

Keesokan harinya Ue Bailolo mulai memotong dan meraut bambu yang ditebangnya kemarin. Dengan tekun ia menganyam bambu itu hingga menjadi sebuah tempat duduk sederhana  yang diletakkannya di beranda depan. Karena Ue Bailolo menganggap arwah perempuan muda yang suaranya ia dengar kemarin masih berdiam di bambu itu, Ue Bailolo dan istrinya menyiapkan beras putih yang direndam air dalam sebuah mangkok dan meletakkannya diatas tempat duduk itu. Mereka menutup tempat duduk itu dengan sehelai kain putih.

Tiga hari kemudian, Ue Bailolo dan istrinya mencium wewangian yang berasal dari beranda depan. Alangkah terkejutnya Ue Bailolo dan istrinya takkala mereka membuka pintu rumah, tampaklah seorang perempuan muda cantik jelita sedang berdiri tersenyum memandang mereka. Tempat duduk bambu dan sesajen diatasnya hilang entah kemana. Perempuan muda itu mengangguk sopan seraya berkata, “Saya datang dari surga untuk menetap di rumahmu Ue Bailolo. Tuhan menyuruh saya menunggu calon suami saya disini”.

Ue Bailolo dan istrinya hanya diam terpaku. Mereka masih merasa terkejut atas kehadiran perempuan muda itu. Beberapa saat kemudian Ue Bailolo berkata, “Kami sama sekali tak keberatan kau tinggal disini. Kami harap kau tidak kecewa dengan kondisi rumah kami yang sangat sederhana”. Ue Bailolo masih heran mengapa Tuhan mengirim perempuan di hadapannya itu untuk tinggal di rumahnya.

Perempuan muda itu senang sekali Ue Bailolo dan istrinya menerima kedatangannya dengan baik. “Semoga Tuhan memberkahimu dan istrimu, Ue Bailolo”, kata perempuan yang kemudian diketahui bernama Lalung.

Hari demi hari berlalu. Ue Bailolo dan istrinya merasa hidup mereka lebih semarak sejak kehadiran Lalung. Mereka menganggap Lalung sebagai anaknya. Lalungpun merasakan hal yang sama. Ia menganggap Ue Bailolo dan istrinya sebagai orang tuanya dan sangat menghormati mereka.

Pada suatu hari Lalung mengutarakan keinginannya untuk menyantap daging merpati putih. Walaupun agak heran atas permintaan Lalung, Ue Bailolo berusaha memenuhi permintaan anak angkatnya itu. Berangkatlah Ue Bailolo ke hutan membawa peralatan memanah.  Setelah seharian berjalan, Ue Bailolo tak melihat seekorpun burung merpati di hutan itu. Ue Bailolo akhirnya tertidur dibawah sebuah pohon karena kelelahan.

Tengah malam Ue Bailolo bermimpi bertemu lagi dengan Manurung, pemuda tampan yang datang ke dalam mimpinya beberapa bulan lalu. Manurung berkata Tuhan akan menolongnya. Benar saja, Keesokan harinya Ue Bailolo berhasil memanah seekor merpati putih yang melintas ketika ia sedang beristirahat di bawah sebuah pohon rindang.

Ketika Ue Bailolo pergi berburu merpati putih ke dalam hutan, Manurung yang ditemuinya dalam mimpi benar benar datang ke rumahnya. “Nama saya Manurung”, katanya kepada istri Ue Bailolo yang menyambut kedatangannya. Istri Ue Bailolo segera menyuruh pemuda itu turun dari kerbaunya. “Tidak sekarang”, katanya menolak permohonan istri Ue Bailolo sambil tersenyum ramah.

Pemuda tampan itu menanam pohon bunga matahari yang memiliki satu kuncup bunga di halaman rumah Ue Bailolo. “Jika yang memetik bunga matahari ini seorang laki laki, aku akan menjadikannya seorang sahabat. Jika ia seorang wanita, akan kujadikan istriku”, ujarnya di depan istri Ue Bailolo yang memandangnya dengan heran. Walaupun tak mengerti apa maksud pemuda itu, istri Ue Bailolo tersenyum ketika pemuda itu pamit kepadanya. Istri Ue Bailolo memandang Manurung dengan kerbaunya sampai hilang dari pandangan.

Lalung sangat gembira ketika Ue Bailolo pulang membawa merpati putih. Istri Ue Bailolo segera memasak merpati itu . Kesibukannya membuat istri Ue Bailolo lupa menceritakan perihal kedatangan Manurung tadi pagi. Siang itu, Ue Bailolo, istrinya, dan Lalung menyantap daging merpati putih yang lezat itu dengan lahap.

Pada suatu pagi, Ue Bailolo yang sedang memberi makan ternaknya baru menyadari  ada pohon bunga matahari tumbuh di halamannya. Ketika ia menanyakan perihal itu kepada istrinya, istri Ue Bailolo teringat akan Manurung. Iapun menceritakan kedatangan Manurung ke rumah mereka ketika Ue Bailolo sedang berburu tempo hari.

Ue Bailolo tersenyum mendengar cerita istrinya. Ia teringat akan mimpinya dan yakin bahwa pemuda tampan yang datang ke rumahnya adalah pemuda yang ditemuinya dalam mimpi. Entah mengapa, Ue Bailolo merasa semua ini pertanda baik untuknya.

Beberapa hari kemudian, Manurung  datang kembali ke rumah Ue Bailolo. “Selamat pagi Ue Bailolo”, sapanya ringan. “Saya datang untuk menanyakan bunga matahari kepunyaan saya. Saya lihat bunga itu tak ada di pohonnya. Siapakah yang memetik bunga itu ?”, tanyanya lagi.

Ue Bailolo yang merasa telah mengenal Manurung segera menjawab, “Maaf Manurung, anak kami Lalung telah memetik bunga itu”, suara Ue Bailolo terdengar menyesal. Manurung tidak marah mendengar jawaban Ue Bailolo. Ia bahkan memohon untuk dipertemukan dengan Lalung.

Manurung yang melihat Lalung sedang duduk di teras sangat terpesona melihat kecantikan wajah perempuan itu. Lalungpun demikian. Ia terlihat kagum ketika Manurung menyapanya. Sambil memegang tangkai bunga matahari yang baru dipetiknya, Lalung berdiri menyambut kedatangan Manurung. Sejak pertemuan itu, Manurung dan Lalung sama sama jatuh cinta dan seakan tak ingin terpisahkan.

Setelah merajut kasih beberapa waktu, akhirnya Manurung memutuskan untuk segera menikahi Lalung. Pesta meriahpun digelar. Para penduduk membantu Ue Bailolo dan istrinya menyelenggarakan pesta meriah itu. Sejak menikah, pasangan Manurung dan lalung menetap di rumah Ue Bailolo. Mereka menganggap Ue Bailolo dan istrinya sebagai orang tua mereka.
Sejak kehadiran Manurung di rumah mereka, kehidupan Ue Bailolo terus membaik. Hasil panennya melimpah ruah. Karena kekayaannya yang terus bertambah, lama lama Ue Bailolo menjadi orang paling kaya di kampungnya.

Menantu angkat Ue Bailolo, Manurung, menarik simpati banyak orang di kampungnya. Walaupun usianya terbilang muda, Manurung merupakan seorang yang cakap dan bijaksana. Tak heran jika kemudian para penduduk desa mengangkatnya sebagai raja. Para penduduk menilai Manurung adalah sosok yang selama ini mereka dambakan untuk menjadi pemimpin mereka.

Sejak dirinya diangkat menjadi raja, Manurung biasa berkeliling kampung untuk melihat kondisi rakyatnya. Pada suatu hari, ia mendatangi sebuah daerah yang kerap mengalami kekeringan di musim kemarau. Akibatnya ladang dan sawah mereka mengering. Kelaparan mengancam dan penyakitpun merajalela.

Manurung segera memerintahkan penduduk untuk menggali sumur di setiap rumah. Sungguh aneh, dari sekian banyak sumur yang telah digali, tak satupun yang mengeluarkan air. Akhirnya Manurung berjalan menuruni lembah yang berada tak jauh dari situ. Ia berlutut dan berdoa memohon pertolongan Yang Kuasa. Atas petunjukNya, Manurung menancapkan tombak saktinya ke tanah. Serta merta air menyembur keluar dari dalam tanah bekas hujaman tongkatnya.

Air terus menyembur keluar tiada henti meski Manurung telah mendaki lembah itu dan memandangnya dari atas. Lama lama air menutupi seluruh lembah dan membentuk sebuah danau. Melihat kejadian itu, seluruh rakyat  benar benar yakin kalau Manurung adalah pemimpin yang diutus Tuhan untuk membawa kesejahteraan bagi mereka. Sejak kehadiran danau itu, penduduk sekitar tidak pernah lagi mengalami kekeringan. Danau itulah yang sekarang ini dikenal sebagai Danau Poso yang terletak di Sulawesi Tengah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar